Contoh
Cerpen Pengalaman Pribadi
Hai sobat cerita ini aku tulis
berdasarkan pegalaman pribadiku sendiri di bulan mei. Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti
banyak menemukan pengalaman yang mengesankan. Aku nulisnya sambil berlinang air
mata lohh, aku harap kalian suka sama ceritaku ini. Maafin yaa kalau cara
penulisannya masih belum sempurna, karena aku juga masih amatir. Semoga cerita
ku ini bisa menginspirasi buat kalian semua. Selamat Membaca! 😊
Kenangan Di Bulan Mei
31 Mei 2015, hampir
dua tahun telah berlalu. Namun mengingat namanya saja sudah membuat sesak di
dada. Begitu berat rasanya melepas kepergiannya. Seseorang yang sering
membuatku kesal, marah, dan aku juga sering bertengkar dengannya. Namun baru
aku sadari ialah sosok yang sangat tegar, tangguh dan berhati lembut bagaikan
malaikat. Setiap kali aku teringat kejadian itu, air mataku langsung mengalir.
Hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, ia akan pergi untuk selamanya.
Meninggalkan kenangan pilu di hati kami.
Sore
itu langit cerah berawan, aku dan kakak perempuanku sedang bersiap siap untuk
pergi berbelanja karena kemarin ia telah menerima gaji pertamanya. Ia berjanji
untuk mentraktir dan membelikanku sepatu baru. Sebenarnya dia sedang malas
untuk pergi namun aku berhasil membujuknya. Dengan hati gembira kami berdua
berpamitan dengan ayah dan mama. Namun tak kusangka itu adalah pamitan
perpisahan.
Selama
diperjalanan menuju tempat perbelanjaan aku telah membayangkan sepatu yang akan
aku beli dan aku juga membayangkan makan makanan enak disana berasama kakakku.
Hari semakin beranjak sore, langit pun berubah menjadi mendung dan tetes hujan
gemiris membasahi kami. Namun kami masih tetap melanjutkan perjalanan karena
hujannya tidak begitu deras dan kami tidak mau pulang kemalaman nantinya.
Kakakku
membawa motornya dengan pelan dan hati hati. Namun hujan nampaknya semakin jadi
membasahi kami. Jalanan lumayan sepi sore itu karena mungkin orang malas keluar
saat hujan. Sudah tampak dekat kami dengan tempat tujuan namun tak disangka
dari arah belakang datang seseorang bersepeda motor dengan kecepatan tinggi.
Orang tersebut menarik tas kakakku yang tergantung dimotor. Sontak hal tersebut
membuat kami kaget dan kakakku kehilangan keseimbangan akibat tarikan yang
cukup keras itu.
Entah
apa yang terjadi selanjutnya, yang ku ingat hanya kegelapan. Badan ku seperti
mati rasa, kakiku kaku begitupun dengan tanganku. Kepalaku terasa sangat sakit
meskipun helm yang aku gunakan masih terpasang di kepalaku. Aku perlahan
membuka mataku meski badanku kaku tak bergerak. Suara ramai terdengar di
telingaku, entah berapa banyak orang berada disekitarku. Aku digendong seorang
bapak masuk ke mobil, rupanya ia ingin membawaku ke rumah sakit. Aku melamun
menatap langit-langit mobil itu sambil bertanya dalam hati “Apakah sekarang aku
sedang bermimpi?”
Aku
membuka mulutku dan terasa perih, perlahan air mata menetes di pipiku. Selama
itu yang aku pikirkan cuma mama, aku mengigau memanggilnya “Mamaa... Ma..
Sakitt...” Air mata terus mengalir membasahi wajahku. Aku merasakan mobil yang
aku tumpangi berhenti. Pintu mobil pun terbuka, aku melihat suster dengan sigap
memindahkanku di ranjang dan mendorongku entah kemana. Aku dibawa menuju sebuah
ruangan, disana aku melihat kakakku. Barulah aku teringat kejadian memilukan
tadi. Aku mendengar suara kakakku menjerit kesakitan. Tak pernah aku dengar ia
menangis seperti itu. “Dokter.. Sakit dok.. Jangann..” Teriak kakakku. Aku
merasa sakit yang aku rasakan tak ada apa apa nya dibandingkan sakit yang
dirasakan kakakku.
Kemudian
seorang suster menghampiriku, ia mengambil hp yang berada di saku celana
ku.“Dek yang disebelah itu temennya ya?” Tanya suster itu kepadaku, “Bukan sus
itu kakakku.” Lalu dia menelpon no orang tuaku yang berada di hp itu. Aku tak
bisa membayangkan perasaan ayah dan mama mendengar kabar ini. Namun, yang lebih
aku pikirkan bagaimana keadaan kakakku yang terus menerus merintih kesakitan
itu. “Dok kakakku baik baik aja kan?” Tanyaku pada dokter yang mendekatiku,
namun dokter tersebut hanya diam. Ia mengambil sebuah kapas dan jarum lalu
mendekatkannya ke wajahku. “Dek kita jahit dulu lukanya ya, lihat darahnya
ngalir terus” Kata dokter tersebut. Dari tadi aku tak menyadari bahwa daguku
terluka cukup besar dan darahnya terus mengalir.
Aku
menutup mataku karena takut namun saat dokter tersebut sedang menjahit lukaku
aku mendengar suara yang kukenal. “Nanaa.. Ya Allah kenapa bisa ini terjadi”
Suara itu adalah suara mama, ternyata kedua orang tuaku sudah berada disini.
Aku tak bisa berkata dan hanya bisa menangis. Lalu ranjangku didorong keluar
dari ruangan itu, aku sempat melihat kakakku sedang dikelilingi oleh beberapa
dokter dan suster. Aku dibawa menuju ruangan lain. Disana sudah ada ayahku dan
seorang polisi yang meminta keterangan atas kejadian yang aku alami tadi, lalu
aku pun menceritakan seluruh kejadian yang aku ingat.
Setelah
polisi tersebut pergi, datang seorang suster memasangkan impus ditanganku. Setelah
impus terpasang aku merasa sangat mengantuk dan tertidur. Setelah tertidur
cukup lama aku terbangun ditengah malam karena mama mengusap keningku. Aku
melihat ia menangis “Nanaa.. Do’ain kakak ya.. Kondisi kakak sudah buruk, kakak
mu kritis di ruang ICU karena ada pembekuan darah di otaknya, dokter sedang
berusaha semampunya.. Do’ain kakak bisa sembuh na.” Kata kata mama membuatku tertegun tak bisa berkata kata. Tak
lama ayah datang memhampiriku, wajah ayah sangat lusuh dan ia menggelengkan
kepalanya sambil menangis. “Nana kakakmu sudah pergi..” Jelas ayah terbata
bata. Hatiku terasa hancur, bibirku membisu, dan tanganku bergetar. Mama ku
terduduk dan menatap kosong ke arah ayah, ia terlihat sangat rapuh. Ayah
membawa mama pergi melihat kakakku.
“Maa..
Nana juga ingin lihat kakak.. Maa..” Jeritku kepada mama yang telah pergi dari
ruanganku. Namun tante dan suster datang membawa kursi roda untukku menuju
ruangan kakak. Tante mendorong kursi rodaku memasuki ruangan itu, aku melihat
banyak orang yang kritis disana, lalu diujung ruangan aku melihat ranjang
kakakku dikelilingi keluargaku. Air mata terus mengalir di wajahku perlahan aku
berdiri dan mencium keningnya. “Kak.. Bangun kak.. Bangun.. Maafin Nana kak,
nana janji gak akan buat kakak marah lagi. Nana bakalan jadi adek yang baik
untuk kakak.. Kakak bangun dong kak...” Rintihku sambil mengoyang goyangkan
badan kakakku yang terus diam tak bergerak. Aku terduduk diam dikursi rodaku,
lalu mama datang menghampiriku “Nana.. Ikhlasin kakak na.. Waktu kakak sudah
habis.. Nana harus kuat biar mama juga bisa kuat.. Sekarang Nana yang harus
gantiin tugas kakak yaa.” Mamaku benar benar wanita yang tegar seperti kakakku.
Setelah
dirawat kurang lebih satu minggu dirumah sakit, aku pun diperbolehkan pulang
oleh dokter. Luka di badanku pun sudah mulai mengering namun luka dihatiku
masih terus saja terbuka, tak bisa hilang oleh waktu. Rasa sesal yang aku
rasakan terus saja menghantuiku sampai saat ini. Namun aku yakin ada sesuatu
yang menantiku selepas banyak kesabaran yang aku jalani hingga aku lupa
pedihnya rasa sakit. “Nana janji kak nana bakal jagain mama, ayah, dan adek..
Nana juga janji bakalan buat mama, ayah dan kakak bangga dengan nana.. Nana
sayang kakak.. Nana rindu kakak.. Tunggu kami disurga ya kak.” Bisikku sambil
memandangi foto kakakku yang tersenyum bahagia.